![]() |
Senja didekat rumah. Taken by @adinuticious |
Kupikir aku sudah bisa melupakannya. Kukira aku sudah bisa tidak mengingatnya lagi. Nyatanya semakin keras aku berusaha melupakannya, semakin kuat ingatan itu datang kembali, dan otak bereaksi cepat memberitahu pada hati bahwa akan ada tangis yang tumpah pada malam ini.
Bodoh. Bisa-bisanya aku dulu menyanjung agung sebuah “kebersamaan” yang nyatanya semu... Bukan. Bukan karena orang-orang didalamnya tidak baik, justru baik malah, sangat baik, dengan porsi ibadah dijaga ketat oleh mutabaah pekanan, juga ibadah ibadah sunnah dan yaumiyah targetan, hampir tidak mungkin orang-orang didalamnya adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah.
Setelah kebodohan bertahun-tahun itu, kusadari bahwa “kesamaan” bisa dibentuk, tapi “kebersamaan” tidak bisa dipaksakan. Taruhlah 22 orang, yang sebelumnya hanya tahu sama tahu, belum mengenal dekat, atau bahkan belum mengenal sama sekali, digariskan takdir untuk bertemu pada suatu titik kehidupan. Secara keadaan, 22 orang ini sudah digodok dari awal untuk “sama”, kemudian generasi terdahulu memberi misi yang harus dilewati 22 orang ini dalam satu tahun.
Dalam perjalanannya, aku yang “dulu” masih terlalu idealis dan menjunjung tinggi kebersamaan, selalu berusaha excited dikala kumpul-kumpul lembaga, aku usahakan datang walau bukan divisiku yang mengadakan agenda, berharap wadah yang ada aku didalamnya ini dapat kompak hingga akhir waktu dan dapat menjadi sahabat satu sama lain, meskipun kita dibatasi oleh interaksi laki-laki dan perempuan muslim yang tak boleh terlalu cair.
Terlambat kusadari bahwa sekuat apapun aku menggenggam, sekuat apapun aku berusaha untuk tetap mempertahankan kekompakan, personil lain dikapal ini tidak semuanya “ingin” seperti aku. Ibarat berjuang sendirian (meskipun gak benar-benar sendiri), relung perasaan ini gak bisa dibohongi. Dari gerak gerik bertatap, ketak ketik obrolan di WhatsApp, itu sudah cukup mewakili dan menjadi bukti, siapa yang terus berusaha menahan kapal agar tetap terus berlayar ditengah deru ombak yang tak berkesudahan.
Aku tahu rasanya tidak dihargai, aku tahu rasanya totalitas disaat yang lain biasa saja, aku tahu rasanya tersakiti oleh kata-kata hingga menghujam kedalam jiwa, aku tahu rasanya... Yang aku tidak tahu, apakah dulu pernah terpikirkan dalam benak mereka bahwa kalau tidak ada yang peduli setengah mati pada lembaganya, akan jadi apa lembaga tersebut?
Tidak, aku tidak menyalahkan siapapun, aku tidak menyalahkan “wadah” itu, bahkan dari situ aku belajar… Bahwa terlalu fokus disatu hal akan mengorbankan sebagian besar pikiranmu yang harusnya bisa kamu pikirkan untuk hal lain juga. Saking traumanya, aku tidak akan pernah ingin lagi memasang sebuah kenangan/moment/memori dari sebuah lembaga/komunitas/perkumpulan dalam highlight Instagram Story. Biarlah semua biasa-biasa saja. Meski api ingatan ini tidak bisa benar-benar padam, namun hati ini tidak dendam, malah ini menjadi sarana menambah garam (pengalaman).
Aku gak bilang mereka salah, hanya saja aku jera dan jengah. Cukuplah ini menjadi pelajaran untuk tidak bemudah-mudah dan serakah dalam mengambil semua peluang untuk memaksakan agar tetap singgah. Aku lelah. Kupastikan sejak saat itu tidak akan terulang “kecelakaan” yang sama untuk kedua kalinya. Lukanya sulit sembuh, membekas hebat meski tidak terlihat.
0 Komentar