Seekor
kucing lemah tak berdaya yang selalu mencari perlindungan. Ya, itulah aku. Sang
fajar bersembunyi dibalik pekatnya awan yang tak kuasa membendung tangisan. Aku
masih dengan khusyuk memaksa bola mata memperhatikan butir-butir tangisan
langit yang menghujam rumput di depan surau. Kontras sekali warna rumput
tersebut, mungkin ia bahagia karena habis bersih bersih alias mandi total.
15
menit berlalu, Aku tak berkutik dari tempatku menopang tubuh. Sesekali
menunjukkan gesture menggigil. Badanku tetap saja kotor meski hujan
membagi-bagikan airnya. Aku takut air. Hal itu malah membuatku semakin
kedinginan nanti. Semenjak Ibuku pergi mencari suami baru, aku ditinggal
sendiri. Kondisi tubuhku sangat memprihatinkan. Bila aku menjadi manusia,
pastilah sudah berpenampilan seperti sampah masyarakat.
Buluku
berwarna hitam putih, dengan putih yang mendominasi. Bercak kumal menyebar
hampir di setiap helainya. Satu hal yang membuat orang cukup iba ketika pertama
kali melihatku adalah ketiadaan mata sebelah kanan dengan bekas darah berwarna
merah marun yang sudah mengering. Tubuhku kurus kerempeng, tak berbentuk seakan
takterurus. Memang tidak terurus. Sesungguhnya aku haus kasih sayang.
Saat
hujan reda, aku mencoba masuk surau bagian akhwat untuk mencari kehangatan.
Namun apa yang ku dapat? Penolakan dari semua akhwat yang takut pada indra
penglihatanku.
“Pergi
pergi huss!” Ujar seorang wanita yang sedang berdoa sehabis sholat di surau
itu.
“Tidakkah kau iba padaku, Nyonya?” Ujarku
dengan bahasa yang hanya dipaham kaumku sendiri, lalu mengerang - ngerang
sekian lama hanya untuk mendapat titik terang.
Si
wanita tetap saja tidak mengerti apa maksudku karena aku berbicara dengan
bahasaku, bukan dengan bahasa manusia.
Wahai
manusia. Dimana hati nuranimu? Katanya kau makhluk berakal yang dilebihkan
kemampuannya di atas kami. Ya, setidaknya kami masih punya naluri. Naluri ingin
disayangi, naluri ingin dibelai, dan naluri ingin dimanja olehmu. Kebutaan
indra penglihatan ini sungguh bukan inginku! Sungguh! Namun kutahu pasti,
rencana Allah adalah rencana yang Maha Indah. Aku, juga kamu bisa mengambil
ibroh dan sama – sama dapat meningkatkan keimanan kepada-Nya saat ini. Dengan
cara apa? Sabar dan syukur. Dua cara itu. Kalau aku saat ini sedang diuji oleh
Tuhan, maka aku harus bersabar. Sedangkan kamu, bersyukurlah bahwa kamu tidak
seperti aku. Dianggap tak berguna, di tendang, di usir, bahkan yang paling
parah : dipukul dan disiram air panas.
Aku
sering berkelana kesana – kemari, termasuk ke mushola/surau di kampus ini.
Banyak hal yang tak ku mengerti. Bukankah kebersihan sebagian dari iman? Namun
yang banyak ku dapati, mereka, makhluk yang katanya berakal, membiarkan saja
seperti tak acuh akan sampah sisa bahkan di tempat ibadah yang mereka tempati!
Hanya segelintir orang saja yang perduli akan kebersihan tempat ibadah. Bahkan
yang lebih mencengangkan lagi, tempat ibadah yang seharusnya menjadi tempat
untuk berdiskusi menyangkut kepentingan umat, malah tak jarang menjadi tempat
untuk membicarakan aib seseorang, berghibah, dsb.
“Woi
benci gue sama si Azka itu! Iya sih emang ganteng, tapi kan gak segitunya juga
laga dia! Kalo lagi jalan kayak udah pangeran aja dia itu!”
“Sama gua juga benci ama tu orang, maunya apa kali.”
Sayup
kerumunan wanita disebuah surau terdengar begitu nyaring di telingaku. Mereka
berbicara seenaknya, tertawa semaunya, tanpa mereka sadar bahwa mereka berada
dalam masjid.
*To Be Continued
0 Komentar