Halo

Apa yang kau rasa, tak semua bisa kau ekspresikan. Tapi dengan menulis, kamu lebih dari sekedar berekspresi. Abadikan kisahmu dengan menulis. Jangan biarkan sang cucu lebih mengenal tokoh dunia dibanding mengenal dikau!

A Little Grievous Pussy – Sebuah Cerpen

Seekor kucing lemah tak berdaya yang selalu mencari perlindungan. Ya, itulah aku. Sang fajar bersembunyi dibalik pekatnya awan yang tak kuasa membendung tangisan. Aku masih dengan khusyuk memaksa bola mata memperhatikan butir-butir tangisan langit yang menghujam rumput di depan surau. Kontras sekali warna rumput tersebut, mungkin ia bahagia karena habis bersih bersih alias mandi total.
15 menit berlalu, Aku tak berkutik dari tempatku menopang tubuh. Sesekali menunjukkan gesture menggigil. Badanku tetap saja kotor meski hujan membagi-bagikan airnya. Aku takut air. Hal itu malah membuatku semakin kedinginan nanti. Semenjak Ibuku pergi mencari suami baru, aku ditinggal sendiri. Kondisi tubuhku sangat memprihatinkan. Bila aku menjadi manusia, pastilah sudah berpenampilan seperti sampah masyarakat.
Buluku berwarna hitam putih, dengan putih yang mendominasi. Bercak kumal menyebar hampir di setiap helainya. Satu hal yang membuat orang cukup iba ketika pertama kali melihatku adalah ketiadaan mata sebelah kanan dengan bekas darah berwarna merah marun yang sudah mengering. Tubuhku kurus kerempeng, tak berbentuk seakan takterurus. Memang tidak terurus. Sesungguhnya aku haus kasih sayang.
Saat hujan reda, aku mencoba masuk surau bagian akhwat untuk mencari kehangatan. Namun apa yang ku dapat? Penolakan dari semua akhwat yang takut pada indra penglihatanku.
“Pergi pergi huss!” Ujar seorang wanita yang sedang berdoa sehabis sholat di surau itu.
Tidakkah kau iba padaku, Nyonya?” Ujarku dengan bahasa yang hanya dipaham kaumku sendiri, lalu mengerang - ngerang sekian lama hanya untuk mendapat titik terang.
Si wanita tetap saja tidak mengerti apa maksudku karena aku berbicara dengan bahasaku, bukan dengan bahasa manusia.
Wahai manusia. Dimana hati nuranimu? Katanya kau makhluk berakal yang dilebihkan kemampuannya di atas kami. Ya, setidaknya kami masih punya naluri. Naluri ingin disayangi, naluri ingin dibelai, dan naluri ingin dimanja olehmu. Kebutaan indra penglihatan ini sungguh bukan inginku! Sungguh! Namun kutahu pasti, rencana Allah adalah rencana yang Maha Indah. Aku, juga kamu bisa mengambil ibroh dan sama – sama dapat meningkatkan keimanan kepada-Nya saat ini. Dengan cara apa? Sabar dan syukur. Dua cara itu. Kalau aku saat ini sedang diuji oleh Tuhan, maka aku harus bersabar. Sedangkan kamu, bersyukurlah bahwa kamu tidak seperti aku. Dianggap tak berguna, di tendang, di usir, bahkan yang paling parah : dipukul dan disiram air panas.
Aku sering berkelana kesana – kemari, termasuk ke mushola/surau di kampus ini. Banyak hal yang tak ku mengerti. Bukankah kebersihan sebagian dari iman? Namun yang banyak ku dapati, mereka, makhluk yang katanya berakal, membiarkan saja seperti tak acuh akan sampah sisa bahkan di tempat ibadah yang mereka tempati! Hanya segelintir orang saja yang perduli akan kebersihan tempat ibadah. Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, tempat ibadah yang seharusnya menjadi tempat untuk berdiskusi menyangkut kepentingan umat, malah tak jarang menjadi tempat untuk membicarakan aib seseorang, berghibah, dsb.
“Woi benci gue sama si Azka itu! Iya sih emang ganteng, tapi kan gak segitunya juga laga dia! Kalo lagi jalan kayak udah pangeran aja dia itu!”
Sama gua juga benci ama tu orang, maunya apa kali.”
Sayup kerumunan wanita disebuah surau terdengar begitu nyaring di telingaku. Mereka berbicara seenaknya, tertawa semaunya, tanpa mereka sadar bahwa mereka berada dalam masjid.

*To Be Continued

Posting Komentar

0 Komentar